Menjadi Sahabat Kota bisa di kota mana saja kan? Pada libur Lebaran kemarin, salah satu tim kami mencoba bersahabat (kembali) dengan kota tempat tinggal neneknya. Silakan menikmati oleh-oleh ceritanya…
“Ruang Ramah Anak” tidak selalu berarti taman bermain lengkap dengan sarana seperti ayunan, papan luncur atau jungkat-jungkit. Kadang lebih penting sekadar memiliki ruang terbuka yang cukup luas, di mana orang tua bisa melepaskan anaknya bermain tanpa khawatir mereka tertabrak mobil. Begitulah insight yang saya dapat dari alun-alun kota Purwokerto.
Terletak tepat di seberang Masjid Agung Purwokerto, alun-alun ini sudah ada sejak saya bisa mengingat. Dulu di tengahnya ada pohon beringin besar, tetapi sekarang sudah tidak ada, entah bagaimana ceritanya. Yang jelas, sekarang ruang terbuka tersebut menjadi lapangan luas datar berlapis rumput pendek, tempat warga kota berekreasi di sore dan malam hari.
Hal menarik dari alun-alun Purwokerto: banyak, maksud saya benar-benar hampir semua, kakilima di sana berjualan mainan anak! Berbeda dengan tipe ruang terbuka di Bandung (Gasibu, alun-alun Bandung, Saparua) yang kakilimanya berjualan makanan. Kalau mengingat hukum supply-demand ekonomi, bukankah ini petunjuk bahwa di alun-alun Purwokerto mainan lebih laku dijual daripada barang apapun?
Segala macam mainan ada di sini, dari layangan dan gelembung sabun sampai mobil-mobilan radio kontrol. Beberapa mainan baru pertama kali saya lihat, yang lainnya, seperti lampion udara panas, hanya saya temui di sini (tampaknya tidak banyak pengrajin yang bisa membuat lampion tersebut).
Di sore hari kita disuguhi pemandangan menakjubkan: matahari tenggelam perlahan di langit yang dipenuhi layangan. Setelah langit menggelap, giliran mainan bercahaya yang tampil: kembang api, lampion udara panas, baling-baling bambu berlampu. Suasana makin meriah karena para kakilima juga memasang lampu kelap-kelip di lapak mereka.
Dan tentu saja ada anak-anak, banyak sekali anak-anak. Ratusan anak beraneka usia yang berlarian, tertawa, jatuh, menangis, berdiri lagi, menerbangkan layangan, meniup gelembung sabun, mengejar bola. Menonton mereka memang asyik, tapi yang lebih seru: keluarkan anak kecil dalam dirimu dan ikut bermain!
Hampir semua anggota keluarga saya sudah ber-KTP, tapi toh di sini kami lupa umur dan berlarian mengejar baling-baling bambu. Lapangan itu begitu luas sehingga kami tak pernah bertabrakan dengan siapapun, walaupun di sana ada ratusan warga kota. Anak-anak menghampiri dan bermain bersama kami tanpa takut, orang tuanya pun tidak khawatir, hanya menonton dari jauh sambil tertawa-tawa.
Bermain di alun-alun Purwokerto menyadarkan saya akan makna “Ruang Ramah Anak.” Tidak hanya tentang sarana tetapi lebih tentang rasa: tempat yang membuat anak kecil bahagia jadi anak kecil, dan orang dewasa bisa (atau ingin) kembali jadi anak kecil. Seperti orang dengan sikap bersahabat dan wajah teduh, begitu pula seharusnya sebuah ruang terbuka yang ramah: ia tersenyum pada anak-anak.
Reviewed by Kandi Sekarwulan